Ketika dirinya mengajar dengan menggunakan bahasa Indonesia maka banyak siswa yang tidak mengerti sehingga sebisa mungkin dirinya menjelaskan mengunakan bahasa dialek Manado dan bahkan saat ini sementara mendalami bahasa Sangihe, agar mudah dipahami oleh siswa dalam berkomunikasi serta dia pun tertantang untuk membuat para muridnya bisa berbahasa Indonesia dengan baik.
Disaat situasi yang semakin rumit karena dampak pandemi Covid- 19, membuat gadis dengan hobby traveling dan sport ini serta guru lainya semakin kreatif dikarenakan pembelajaran secara daring sebagaimana instruksi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) otomatis tidak dapat dilaksanakan terkendala jaringan internet.
Dimana signal dan jaringan internet untuk Pulau Matutuang hanya bisa dinikmati pada malam hari bersamaan dengan listrik mulai dari pukul 18.00 Wita.
Diakuinya, sejak merebaknya wabah Covid- 19 ini sangat berpengaruh pada kualitas pembelajaran bagi 21 siswa yang ada di SMPN Satap Tabukan Utara karena minimnya fasilitas penunjang.
Sehingga kedepan ia pun berharap ada perhatian lebih dari pemerintah daerah terlebih pusat dalam hal ini Kemendikbud dapat memperhatikan kebutuhan dunia pendidikan yang di perbatasan baik siswa maupun tenaga pengajar seperti dirinya karna mencerminkan wajah Indonesia dimata dunia.
Kini, wanita yang memiliki motto hidup, Perjalanan adalah kekuatan, kekuatan untuk berani memulai dan keluar dari zona nyaman kita. Semakin menikmati peran dan pengabdiannya di daerah terluar, tertinggal dan terpencil dengan tugas yang sangat mulia untuk mencerdaskan anak bangsa di beranda paling depan untuk masa depan Indonesia.
Bahkan, bungsu dari tiga bersaudara ini, tidak memilki target kapan pindah dari Pulau Matutuang dan tetap ingin mengabdi.
“Saya patuh pada ketetapan Tuhan, bila Tuhan tetap mengijinkan saya tetap ada disini saya tidak akan kemana- mana,” kata gadis lahir 04 Oktober ini.
Saking betahnya tinggal di daerah perbatasan, dan mungkin hal ini yg dihindari jutaan anak muda yang ada di Indonesia, Keke sapaan akrabnya kini dalam kesehariannya mulai menyatu dengan budaya Sangihe. Bahkan tidak sungkan- sungkan menyebut dirinya sebagai Embo (Sebutan anak bungsu di Sangihe) ini menandakan kecintaanya tidak hanya bagi warga dan Pulau Matutuang tapi juga bagi Kabupaten Kepulauan Sangihe. (Ronny Serang/red02)