Penetapan menjadi ibukota kabupaten menjadi titik krusial bagi perjalanan Melonguane, baik sebagai sebuah kota maupun sebagai sebuah ikatan sosial. Perubahan terjadi dalam berbagai dimensi baik sosial, ekonomi, dan budaya, yang kesemuanya dipengaruhi oleh momentum ini.
Perubahan itu dimulai dari perubahan wajah kota dan wilayah hunian masyarakat. Sebagai pusat pemerintahan, Melonguane perlu memiliki sebuah kompleks perkantoran yang mewadahi seluruh pekerjaan pemerintahan Kabupaten baru. Hal ini memunculkan kebutuhan akan sebuah lahan luas, tempat membangun gedung-gedung perkantoran.
Maka, terjadilah negosiasi-negosiasi antara pemerintah dan masyarakat yang berujung pada perpindahan kepemilikan atas areal lahan di dataran menengah di utara desa Melonguane, ke tangan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Talaud, baik dalam bentuk hibah maupun lewat proses jual beli. Dengan adanya kompleks perkantoran itu, maka luas wilayah Melonguane menjadi lebih besar lagi.
Hal kedua yang mempengaruhi perubahan Melonguane adalah pertambahan penduduk. Pada awal berdirinya Kabupaten Kepulauan Talaud, berdatanganlah orang-orang ke Melonguane.
Ini dimulai dari mutasi besar-besaran para pegawai dari kabupaten induk Sangihe dan kota Manado untuk mengisi formasi kepegawaian di kabupaten baru. Menyusul kemudian adalah pertambahan pegawai lewat penerimaan pegawai baru dalam beberapa gelombang, yang kemudian sebagian besar diantaranya kini tinggal di Melonguane.
Pertambahan berikut yang cukup mempengaruhi perubahan jumlah penduduk Melonguane yakni kedatangan para pedagang swasta dari daerah-daerah di luar Talaud yang mencari peruntungan ekonomi lewat peluang yang terbuka lebar dengan terbentuknya kabupaten baru.
Pertumbuhan jumlah penduduk di Melonguane yang demikian tinggi memunculkan kebutuhan-kebutuhan baru. Kebutuhan tersebut antara lain tempat tinggal, penginapan, rumah sewa, kos-kosan dan areal perbelanjaan serta berbagai sarana hiburan.
Kebutuhan-kebutuhan baru tersebut menjadi peluang besar bagi masyarakat asli Melonguane. Mereka memanfaatkannya dengan menjual aset-aset tanah mereka kepada para penduduk baru untuk dibangun tempat tinggal. Sebagian lain bergerak lebih maju dengan membangun kos-kosan, penginapan atau menyewakan rumah mereka dengan jangka waktu tertentu. Semua itu merupakan sebuah kewajaran, sebagai respon terhadap peluang yang terbuka di depan mata.
Akan tetapi, keadaan kemudian menjadi tidak terkendali. Ini terjadi karena tidak ada pendampingan secara intens oleh Pemerintah Kelurahan dan Kecamatan Melonguane terhadap masyarakat dalam proses jual beli, maupun penyewaan aset mereka. Posisi yang diambil Pemerintah Kelurahan dan Kecamatan lebih bersifat administratif dengan sekadar menjadi fasilitator dalam keseluruhan proses jual beli. Akibatnya, masyarakat melakukan penjualan atas asetnya secara sporadis dan tidak terkontrol. Hal ini telah berlangsung kurang lebih sepuluh tahun sejak tahun 2002.
Bagi masyarakat yang memiliki pengetahuan dan kepiawaian bernegosiasi, hal ini merupakan proses menguntungkan karena harga properti maupun tanah dapat ditetapkan tinggi. Sebagian lain, karena keterbatasan pengetahuan, ditambah desakan kebutuhan ekonomi, menjual tanah dan rumahnya dengan harga murah.
Bahkan ada yang rela menukarkan tanahnya dengan kendaraan bermotor. Sebagian lagi melepas asetnya baik tanah maupun rumah dengan harga murah karena penyewa telah menanam jasa dengan pemberian secara kecil-kecilan berupa beras, gula, atau barang kebutuhan sehari-hari selama masa penyewaan.
Kemudahan memperoleh uang dalam sekejap rupanya memicu perilaku baru. Masyarakat Melonguane semakin gandrung menjual asetnya. Di sini timbul masalah karena ada masyarakat yang melakukan penjualan secara sepihak tanpa memberitahu anggota keluarga yang lain.
Konflik dan perpecahan dalam keluargapun tidak terhindarkan. Ada pula yang menjual tanah atau rumah ke satu pihak padahal rumah dan tanah tersebut telah dijual ke pihak lain. Tuntut menuntut antar keluargapun terjadi di pengadilan gara-gara penjualan tanah dan rumah yang bermasalah.
Masalah kian kompleks saat berhubungan dengan kepentingan umum. Proses ganti rugi lahan yang tidak transparan oleh Pemerintah Kabupaten Kepulauan Talaud saat pengambilalihan lahan yang berkaitan dengan pembangunan sarana umum, menjadi masalah yang lama baru bisa diselesaikan.
Bukti dari masalah ini antara lain penutupan jalan utama di sebelah timur Melonguane, dengan alasan belum adanya ganti rugi oleh Pemerintah. Peristiwa berikut yang cukup menggegerkan adalah boikot atas bandara Melonguane oleh beberapa warga yang meminta ganti rugi atas lahan mereka yang dijadikan kawasan bandara. Demonstrasi baru reda setelah pihak kepolisian mengambil tindakan tegas.
Hal menyedihkan adalah, kebanyakan lahan yang dijual oleh masyarakat Melonguane merupakan lahan pertanian produktif. Padahal lahan-lahan tersebut dapat digunakan masyarakat untuk berproduksi, memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini, satu saat akan berbuah penyesalan. Kondisi itu akan terasakan ketika daya beli menjadi rendah, sementara di dapur tidak ada lagi bahan makanan yang bisa ditanak untuk dimakan. Pada saat itulah, petani Melonguane akan sangat merindukan tanahnya, namun sudah terlambat.
Sementara itu, jalan-jalan utama Melonguane yang bernilai ekonomi tinggi, yang ada di persimpangan utama, kini tidak lagi dimiliki oleh orang Melonguane. Kebanyakan dari mereka kini tinggal di pinggiran kota. Sebagian lagi terkunci di bagian belakang deretan toko dan gedung yang bukan milik orang lokal Melonguane lagi. Mereka, tidak lagi memiliki akses dan keleluasaan atas lingkungannya.
Yang lebih menyedihkan adalah banyak masyarakat Melonguane yang dulu dapat menghidupi keluarganya dengan bertani dan bernelayan kini mencari penghasilan dengan bekerja di tempat-tempat usaha para pendatang. Para pengusaha pendatang awalnya hanya membawa sedikit modal, namun dengan kegigihan dan ketekunan dalam bekerja kini menjadi pemberi upah bagi orang-orang Melonguane.
Selain perilaku-perilaku di atas, terdapat perilaku sosial baru yang bersifat trend. Yang pertama tumbuhnya berbagai tempat hiburan. Pertumbuhan penduduk yang kian pesat dan hunian yang semakin luas dimanfaatkan oleh para pengusaha dengan membuka fasilitas-fasilitas hiburan di pinggiran kota berupa bar yang menyediakan fasilitas karaoke dan minuman keras. Bar-bar ini kemudian disebut dengan sebutan yang lebih sopan yakni “café”.
Menjamurnya Café-café di pinggiran kota Melonguane merupakan sebuah kekerasan kultural. Masyarakat yang sebelumnya hidup dengan nilai-nilai kesederhanaan dibenturkan dengan perilaku masyarakat urban yang hedonistis. Di café bukan saja ditawarkan jasa karaoke dan minuman keras, tapi ada indikasi terjadi juga transaksi seks komersil yang dilakukan secara terselubung.
Para pengusaha mendatangkan perempuan-perempuan muda penghibur dari kota Manado dan sekitar untuk menjadi pelayan di kafe-kafe mereka. Untuk lebih keren, para perempuan yang sebenarnya merupakan korban perdagangan perempuan ini disebut sebagai “ladies”.
Jika ditanya, apa motivasi terkuat yang membuat banyak laki-laki di seputaran kota Melonguane begitu ingin datang ke café. Rupanya bukan karaoke ataupun minuman keras, yang harganya telah melambung. Magnet yang menarik mereka adalah para ladies yang ada di café tersebut, yang memang telah dikondisikan untuk melayani, bahkan ke transaksi lebih lanjut.
Dampak sosial turunannya adalah para tukang bentor tidak lagi menyerahkan hasil pencahariannya secara utuh kepada para istri, karena mereka sudah menyimpan sebagiannya untuk bergembira di café-cafe.
Demikian juga para oknum aparat pemerintah tidak lagi menyerahkan gaji untuk dikelola istri, sebagiannya telah masuk ke kantong para pengusaha hiburan. Prahara rumah tangga yang berujung perceraian kerap terjadi. Perselingkuhan yang di masa sebelumnya dianggap sebagai kejadian luar biasa, kini menjadi trend sosial, yang dimulai dari aktifitas hiburan malam.
Dampak berikut yang menguatirkan adalah masalah kesehatan. Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Talaud memang secara resmi belum merilis informasi tentang berapa banyak masyarakat Talaud yang terinfeksi HIV AIDS. Namun beberapa kematian pasien di RSUD Mala dicurigai karena penyakit ini. Di Talaud tidak ada penjualan heroin atau sabu-sabu yang memungkinkan terjadi pertukaran jarum suntik antar pengguna yang berpotensi menyebarkan HIV AIDS. Demikian juga belum ditemukan aktifitas usaha tattoo yang juga cukup beresiko. Jadi, modus potensial bagi penyebaran penyakit ini di Talaud adalah melalui hubungan seksual. Adanya transaksi seks komersil secara terselubung berpotensi menjadi penyebab utama penyebaran penyakit ini di Talaud. Mengingat fenomena HIV AIDS adalah fenomena gunung es, maka bisa saja jumlah penderita HIV AIDS menyentuh angka puluhan bahkan ratusan jiwa. Bahkan bisa jadi orang-orang yang saat ini merasa dirinya sehat sebenarnya telah tertular HIV. Jika tidak dihambat sejak dini, dalam beberapa tahun mendatang seiring perkembangan kota Melonguane, akan terjadi ledakan jumlah pasien terindikasi HIV AIDS.
Perilaku anomali lain yang berhubungan erat dengan dunia hiburan malam adalah mabuk-mabukan. Di Melonguane tingkat konsumsi minuman keras sangat tinggi. Ini dimulai para lelaki dewasa, pemuda, dan anak sekolahan. Gejala yang agak menguatirkan adalah ketika hal ini dilakukan juga oleh beberapa perempuan dewasa, yang diikuti anak-anak sekolahan perempuan dengan melakukan hal yang sama. Sebuah pertanyaan besar muncul mengapa sampai perempuan ikut-ikutan mabuk?
Saya kemudian memahami ini sebagai wujud perubahan nilai dan sikap sosial masyarakat. Perubahan nilai dan sikap sosial mengikuti perubahan kultur dan kehidupan masyarakat Talaud secara umum. Di Melonguane, hal ini dimulai sejak perubahan identitas menjadi sebuah kabupaten mandiri yang berujung pada perubahan masyarakat Melonguane dari masyarakat maritim agraris yang hidup dengan bertani dan bernelayan menjadi masyarakat urban. Perubahan ini memerlukan sebuah proses adaptasi perilaku dan nilai. Dengan demikian masyarakat Melonguane hidup dalam sebuah transisi dari masyarakat desa yang bersahaja menjadi masyarakat kota yang urban dan kompleks.
Bagi masyarakat yang siap secara mental, perubahan kultur menjadi proses yang wajar. Namun hal sebaliknya terjadi pada masyarakat yang tidak siap. Mereka bergulat dengan berbagai situasi baru, orang-orang baru dengan tingkat pendidikan dan karakter berbeda. Apalagi ketika dalam kehidupan sehari-hari, justru orang-orang baru, yang memiliki tingkat ekonomi lebih baik, sekaligus lebih banyak berperan dalam masyarakat. Ini menghasilkan sebuah tekanan mental sosial.
Mabuk-mabukan pada akhirnya menjadi kompensasi untuk keluar dari tekanan, baik tekanan ekonomi maupun tekanan sosial, oleh perubahan yang terjadi di sekitar. Itulah sebabnya mengapa di Melonguane bahkan perempuan dewasa dan anak sekolahanpun ikut-ikutan mengkonsumsi minuman keras.
Perilaku mabuk-mabukan di Talaud dan Melonguane secara khusus, didukung oleh peredaran minuman keras yang jumlahnya semakin besar. Walau tidak dengan data statistik, kita dapat melihat peredaran minuman keras di Talaud dalam lima tahun terakhir tumbuh pesat.
Hal itu bisa dilihat dari semakin banyaknya orang-orang yang berjalan sempoyongan di jalan-jalan, atau yang sedang berkumpul mengelilingi beberapa botol minuman. Dan yang paling mudah dengan menghitung berapa ratus karung berisi botol kosong, yang siap dikirim di dermaga Melonguane tiap minggu.
Ini sungguh menguatirkan, karena kebiasaan ini akan mempengaruhi perbedaan yang akan terjadi di masa depan, terutama ketika uang yang sebenarnya dapat ditabung dan dipakai untuk menghidupi keluarga hilang begitu saja tanpa menciptakan pertumbuhan apa-apa dalam keluarga. Di Talaud, puluhan milyar rupiah uang masyarakat menguap begitu saja tiap bulannya bersama kosongnya botol minuman keras.