Ada apa dengan Melonguane? Sebuah Telaah Sosial

pelabuhan melonguane
Pelabuhan Melonguane (istimewa).

Di Melonguane, perbedaan besar yang akan terjadi bila masyarakat lokalnya masih bergelimang dengan minuman keras adalah perbedaan kaya dan miskin.

Ketika para pendatang sibuk dengan bekerja mengakumulasi penghasilan bagi kehidupan di masa depan, sementara sebagian laki-laki dan perempuan Melonguane menghamburkan uang dengan mengkonsumsi minuman keras, lalu lupa bekerja untuk menghidupi keluarganya.

Ini akan menciptakan jurang perbedaan kaya dan miskin. Para pendatang sebagai orang-orang kaya sedangkan orang lokal Melonguane miskin.

Saat ini, kenyataan dalam keseharian dalam kota Melonguane adalah harga komoditas barang telah dikuasai pengusaha dan diatur sedemikian rupa tanpa bisa dihalangi oleh masyarakat Melonguane.

Dengan harga barang yang mahal, serta kemampuan beli rendah, tentu akan berimplikasi lain di dalam kehidupan masyarakat lokal melonguane yakni: penghasilan keluarga hanya akan habis untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga sedangkan kebutuhan lain seperti biaya sekolah anak bisa saja terabaikan.

Bila ini terjadi, satu saat akan terjadi kesenjangan bukan hanya secara ekonomi dan sosial melainkan juga secara intelektual, dimana masyarakat asli Melonguane akan tertinggal dalam percaturan kemasyarakatan dan berakhir hanya dengan menjadi penonton pergerakan kemajuan yang sedang terjadi karena keterbelakangan secara intelektual.

Hal yang sama telah dialami oleh masyarakat Betawi yang kehilangan tanah leluhurnya dan menjadi penonton kemajuan Jakarta dari pinggiran kota.

Diakui atau tidak, sebagian masyarakat lokal Melonguane telah terpinggirkan, bukan saja karena telah bertempat tinggal di pinggir kota, tetapi juga karena mereka tidak lagi memiliki kemampuan untuk berkompetisi dalam kehidupan masyarakat.

Mereka mengalami kekurangan modal ekonomi dan sosial. Lahan dan rumah telah beralih milik, kebun telah menjadi milik orang lain, sementara hasil penjualan digunakan lebih banyak untuk kebutuhan konsumtif dan tidak dipakai sebagai modal usaha. Sementara itu, mereka melihat tiap hari percaturan ekonomi dikendalikan oleh para pendatang.

Demikian juga aktifitas kemasyarakatan lebih banyak dijalankan oleh orang-orang baru. Maka yang akan tumbuh adalah perasaan terpinggirkan. Keterpinggiran itu terjadi bukan karena adanya sistem yang sengaja menjadikannya demikian, tetapi karena ketidakwaspadaan dan tidak adanya ketahanan ekonomi, sosial dan kultural dalam diri masyarakat lokal Melonguane sendiri.

Perasaan terpinggirkan bisa membahayakan jika kian menumpuk. Awalnya mungkin dapat diredam, tapi lama-lama oleh tekanan ekonomi dan kecemburuan sosial, semua itu muncul ke permukaan dalam bentuk-bentuk yang tidak diinginkan. Hal itu dapat mewujud dalam bentuk premanisme, perkelahian, pencurian, pelacuran serta berbagai perilaku antisosial lainnya.

Semua perilaku antisosial merupakan bentuk luapan ekspresi dan pengejawantahan diri. Mereka ingin diperhatikan dan dipandang sebagai orang yang memiliki kuasa atas keadaan mereka. Namun lebih lanjut harus diwaspadai karena ini bukanlah luapan biasa, melainkan luapan rasa frustrasi karena tidak memiliki kuasa apa-apa lagi atas situasi di masyarakatnya. Ini bisa menjadi pemicu labilnya masyarakat.

Kita perlu berkaca pada apa yang terjadi di kota Poso, Lampung, atau kehidupan kota-kota Papua yang mengalami eskalasi masalah sosial karena kecemburuan masyarakat lokal terhadap para pendatang. Melonguanepun satu saat akan menjadi sebuah lokus ketidak-seimbangan sosial.

Akan tetapi keadaan buruk itu tentu saja dapat dihindari bila ada upaya mengatasinya sejak dini. Yang pertama Pemerintah kota Melonguane mulai dari camat dan lurah perlu melakukan pendampingan secara kontinyu kepada masyarakat lokal Melonguane dengan melakukan sosialisasi untuk menghentikan penjualan tanahnya.

Masyarakat perlu disadarkan bahwa tanah merupakan aset yang sangat berharga dan menentukan kemaslahatan keturunan mereka di masa depan. Diktumnya sederhana “tanpa tanah petani miskin, tanpa tanah anda menjadi pendatang di negeri sendiri.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *