Notification

×

Iklan

Iklan

Sosial Media sebagai Ruang Diskursus dan Keterlibatan Warga dalam Ruang Publik

Minggu, 03 Mei 2020 | 17:16 WIB Last Updated 2020-05-03T15:10:25Z
Penulis, Ravel Pulumbara

Dalam aktivitas sehari-hari, sebagai manusia tentu tak lepas dari kehidupan sosialnya dengan berinteraksi dan berkomunikasi satu dengan lainnya. Dalam buku yang berjudul “Menuju Masyarakat Komunikatif” oleh Budi Hardiman (2009), Jurgen Habermas menjelaskan bahwa masyarakat pada hakikatnya komunikatif. Namun, dalam hal ini saya tidak membahas persoalan persoalan teknis tentang bahasa berkomunikasi baik dan benar melainkan tentang ruang atau tempat dimana kita harus berkomunikasi, juga keterlibatan kita terhadap kegelisahan-kegelisahan publik dalam berbagai aspek, baik dalam aspek Ekonomi, Politik, Sosial dan Budaya.

Tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu ruang diskursus di abad 21 adalah Media Sosial (Medsos). Kita bertanya, menyampaikan, memberikan informasi, menjawab suatu pertanyaan, berkomentar, memotivasi dan bahkan sampai BERDOA pun di media sosial (Objek, Subjek), meskipun terkadang tak ada pemilahan tentang distingsi yang sifatnya privat dan publik. Semuanya menjadi komsumsi pengguna Medsos. Selagi tidak bertentangan dengan hukum dan segala konsekuensinya, maka semuanya sah-sah saja.

Dalam melihat dimensi publik ini, saya harus mengacu pada pandangan dua tokoh, yaitu Hannah Arendt dan Jurgen Habermas. Hanna Arendt, seorang teoritikus politik asal Jerman, memandang ruang publik sebagai ruang komunikasi, sebagaimana yang diidealkanya di dalam Polis Yunani, terjadi di lembaga-lembaga demokratis, yaitu bagaimana rakyat ikut menentukan, mem-voting dan mengadili.

Dalam lembaga-lembaga yang ada di Polis Yunani, seperti Ekklesia dan Helaia pada abad 5-4 SM, rakyat ikut berpartisipasi dalam politik dikarenakan mereka merasa bahwa politik merupakan salah satu langkah untuk menentukan nasib dan kehidupan mereka (Ruang publik: Budi Hardiman, 2009).

Sementara Jurgen Habarmas, sosiolog asal Jerman, menempatkan komunikasi tentang hal hal publik di café sebagaimana yang terjadi di Prancis, Inggris dan Jerman pada abad ke-18. Diskursus itu diisi oleh kalangan masyarakat menengah yang membahas persoalan-persoalan publik, didasari oleh keprihatinan terhadap publik dan menghendaki sebuah perubahan (Ruang Publik: Budi Hardiman, 2009). Diskursus yang diuraikan di atas juga terjadi di negara Indonesia, terutama kalangan mahasiswa, para aktivis, dan lain-lain, yang memiliki kepedulian, simpati dan empati terhadap kejanggalan yang terjadi di masyarakat sehingga berbagai lapisan masyarakat terlibat dalam persoalan politik, sebut saja reformasi tahun 1998.

Di saat era revolusi industri, komunikasi secara fisik ini sangat mempengruhi nilai-nilai komunikasi yang seperti diuraikan oleh kedua tokoh di atas. Sementara pada abad ke-21, ruang-ruang komunikasi tidaklah meluluh dalam bentuk fisik melainkan juga dilakukan dalam ruang maya, diantaranya dengan menggunakan media sosial, seperti Facebook, WhatsApp, Instagram, atau melalui Blog dan lain-lain. Pertanyaannya, apakah kita bisa menjadikan pltaform media sosial tersebut sebagai ruang diskursus menyangkut hal-hal publik? Mungkin sebagian orang akan ada yang menjawab kalau mereka sudah melaksanakanya. Saya sendiri menilai positif perkembangan sosial media hari ini. Saya ambil salah satu contoh, yaitu Facebook. Rata rata setiap warga masyarakat memilki akun Facebook. Dari sini saya melihat keterlibatan seorang warga dalam memperbincangkan kepentingan dan keperluan mereka di ruang publik. Hal ini sejalan dengan pernyataan Jurgen Habermas tentang Demokrasi Deliberatif, bahwa ”hak hak komunikatif warga terlaksana terutama dalam diskursus diskursus informal yang dapat dilaksanakan secara inklusif dan dapat mempersoalkan tema tema yang relevan”.

Melalui Facebook, seseorang juga dapat terkoneksi langsung dengan pemerintah, aparat, para tokoh agama, tokoh adat, dan lain-lain. Melalui Facebook pula, informasi tentang Virus Corona (Covid-19) sampai dengan cara pencegahannya beredar luas dibaca oleh masyarakat, atau mungkin informasi mengenai “proyek” Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tentang Omnibus Law, dan juga dampak terhadap seluruh aspek kehidupan masyarakat, semisalnya pada pekerjaan.

Seorang warga jelas menyikapi hal ini, maka misalnya di akun facebooknya ia menulis bahkan ikut memberikan pendapat. Seorang warga (A) merespon dengan mendesak pemerintah untuk dapat secepatnya membuat aturan, kebijakan sebaik mungkin guna mencegah penyebaran Covid-19. Si A juga mendesak agar DPR menghentikan rapat tentang OMNIBUS LAW di tengah Pendemi Covid-19 dan si A juga berdoa, “Semoga covid 19 cepat selesai”.

Seorang tokoh agama (B) mengangapi si A: “Sabar ini ujian dari Tuhan”. Si C sebut saja pemerintah, akan memberikan bantuan kepada seluruh warga yang terkena dampak covid 19. D, sebut saja mereka yang tidak berkomentar tentang perdebatan di atas, tapi hanya menyimak jalannya perdebatan. Sekalipun pendapat A di atas dapat dikatakan bersifat privat, namun disadari atau atau tidak, pendapat tersebut mengatasnamakan banyak orang, maka tentu akan menimbulkan tanggapan dari yang lainnya. Itulah yang saya maksud tentang keterlibatan warga dan media sosial sebagai ruang diskursus.

Terlepas dari peran dan fungsi dari Si A, B dan C, masing masing diskursus di atas menggambarkan bagaimana keterlibatan seorang warga dalam ruang publik guna membahas persoalan yang menyangkut kepentingan bersama. Dari Polis Yunani, di berbagai café pada abad ke-18 sampai pada hari ini, bagi saya sangat kontekstual. Dari pembahasan diuraikan di atas, dapat diambil satu konklusi bahwa pentingnya keterlibatan kita sebagai warga dalam membahas persoalan bersama sekaligus bagaimana kita sebagai warga, pemerintah, aparat, tokoh agama dan kelompok masyarakat lainnya menjadikan sosial media sebagai ruang diskursus tanpa mengesampikan pendapat dari setiap orang.

Tulisan ini mengajak para pembaca agar melibatkan diri dalam persoalan publik, mengajak bagaimana kita memanfaatkan sosial media sebagai sarana untuk hal-hal positif dan edukatif.

“Kita adalah Publik, Media Sosial adalah Sarana”.

Penulis:
Ravel Pulumbara, Ketua Front Perjuangan Mahasiswa Sangihe (FPMS) 
×
Berita Terbaru Update