Notification

×

Iklan

Iklan

Mengenal Istilah Impeachment atau Pemakzulan

Selasa, 26 Januari 2021 | 09:47 WIB Last Updated 2021-01-26T02:53:08Z
Istilah Impeachment atau Pemakzulan
Ilustrasi Impeachment atau Pemakzulan di Senat AS. 

LiteraPolitik, BININTA.COM - Impeachment atau Pemakzulan adalah proses politik dan hukum yang terjadi di dalam sebuah negara demokrasi. 

Istilah ini merujuk pada dakwaan atau tuduhan yang diajukan oleh lembaga legislatif atas pelanggaran yang dilakukan pimpinan lembaga eksekutif (terutama Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan). 

Istilah Impeachment menekankan pada proses tuduhan dan dakwaan terhadap pelanggaran dan tidak mesti berakhir dengan pemberhentian. 

Istilah Impeachment 


Istilah Impeachment berasal dari kata to impeach. Dalam kamus Merriem-Webster, to impeach didefinisikan sebagai "to charge (a public official) before a competent tribunal with misconduct in office" atau "untuk mendakwah (pejabat publik) di depan pengadilan yang sah dengan pelanggaran dalam jabatannya."

Sementara Encyclopedia Britannica mengartikan impeachment sebagai "a proceeding instituted by a legislative body to address serious misconduct by a public official  atau sebagai "proses yang diajukan oleh badan legislatif untuk menangani pelanggaran serius yang dilakukan oleh pejabat publik."

Sementara secara historis, istilah impeachment muncul pertama kali di Inggris pada abad ke-14. 

Richard A. Poster, dalam bukunya, "Investigation, Impeachment, and Trial of President Clinton", menjelaskan impeachment diajukan oleh parlemen Inggris atas pelanggaranan pejabat tinggi dan individu-individu paling berpengaruh, yang tidak termasuk dalam kewenangan pengadilan biasa.

Ada dua lembaga yang berperan dalam impeachment kala itu. House of Commons atau Parlemen Inggris yang bertindak sebagai "a grand jury" memutuskan seorang pejabat dimakzulkan atau tidak. 

Sedangkan House of Lords yang mengadili, setelah pejabat tersebut dinyatakan telah dimakzulkan. Setelah dimakzulkan, maka pejabat itu dapat dijatuhi hukuman sesuai dengan hukum yang berlaku. 

Impeachment di Inggris pertama kali dilaksanakan pada bulan November 1330 terhadap Roger Mortimer, Earl of March pertama.

Objek, Alasan dan Mekanisme Impeachment


Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH dalam Laporan Penelitian: Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (2005) menyebutkan, ada 3 hal yang menjadi ruang lingkup impeachment, yaitu: objek impeachment, alasan impeachment, dan mekanisme impeachment

Objek Impeachment


Objek impeachment adalah pejabat yang menjadi objek dari tuduhan, yang tidak hanya terbatas pada pemimpin negara, seperti Presiden atau Perdana Menteri, melainkan juga pejabat tinggi negara lainnya. 

Objek dari impeachment di berbagai negara berbeda-beda, tergantung pada konstitusi yang mengaturnya. 

Ada negara yang memasukkan pejabat negara selain Kepala Negara, seperti Hakim atau Ketua Lembaga Negara, sebagai objek impeachment

Alasan Impeachment


Alasan yang konstitusional menjadi hal terpenting dalam proses diajukannya impeachment karena apabila terbukti tidak melakukan pelanggaran berdasarkan konstitusi, maka kepala negara atau pejabat negara yang didakwah tidak bisa dimakzulkan begitu saja. 

Alasan impeachment dalam Konstitusi AS mengilhami konstitusi negara lain dalam pengaturan impeachment. 

Dalam konstitusi AS, Article 2 Section 4 menyatakan:

“The President, Vice President, and all civil officers of the United States, shall be removed from office on impeachment for and conviction of treason, bribery, or other high crimes and misdemeanors”

"Presiden, Wakil Presiden, dan seluruh pejabat negara Amerika Serikat, dapat diberhentikan dari jabatannya apabila terbukti melakukan pengkhianatan, penyuapan, atau perbuatan tercela dan tindak pidana berat lainnya." 

"Tindak pidana berat lainnya" dan "perbuatan tercela" menjadi dua alasan konstitusional yang sering diajukan lembaga legislatif untuk impeachment kepala negara atau pejabat negara. Misalnya, dalam kasus impeachment yang dihadapi Presiden AS Donald Trump di awal tahun 2021 ini. 

Dalam kasus Trump, pasca aksi protes yang berujung kerusuhan di Capitol, kantor anggota Dewan AS, Partai Demokrat AS melayangkan artikel impeachment. 

Melansir dari NBC News, dalam draf impeachment, Trump dituduh telah "melakukan penghasutan" yang berujung pada kerusuhan tersebut.

Tindakan penghasutan ini lalu diartikan partai Demokrat sebagai bentuk "tindak pidana berat lainnya" dan "perbuatan tercela" sebagaimana tertulis dalam pasal 1 draf tersebut, yang berbunyi: 

"Donald John Trump engaged in high crimes and misdemeanors by wilfully inciting violence against the Government of the United States."

"Donald John Trump terlibat dalam perbuatan tercela dan tindak pidana berat lainnya dengan sengaja menghasut kekerasan terhadap Amerika Serikat"

Sama halnya dengan kasus impeachment mantan Presiden AS Bill Clinton pada tahun 1998, yang diajukan dengan alasan konstitusional yang sama yakni "perbuatan tercela dan tindak pidana berat lainnya". 

Bedanya, di kasus Clinton, dia secara spesifik didakwah telah "berbohong di bawah sumpah" dan "menghalangi proses penyelidikan" terkait kasus hubungan dan pelecehan seksual terhadap Paula Jones dan Monica Lewinsky. 

Namun, hingga kini dua alasan ini masih menjadi perdebatan secara akademis dikarenakan tidak ada batasan yang jelas, sehingga bisa saja hanya dengan alasan politik, lembaga legislatif bisa melakukan impeachment. 

Mekanisme Impeachment 


Masing-masing negara yang mengdadopsi ketentuan impeachment mengatur secara berbeda-beda hal tersebut, sesuai dengan pengaturannya dalam konstitusi.  

Namun secara umum, impeahment melibatkan 3 lembaga negara. Lembaga eksekutif (Kepala negara dll) sebagai terdakwah dari pemakzulan, lembaga legislatif (Dewan Perwakilan) yang mendakwah dan mangajukan pemakzulan, dan lembaga Yudikatif, dalam hal ini Mahkamah Agung (Supreme Court) atau Mahkamah Agung (Constitusional Court). 

Impeachment diajukan oleh Lembaga Legislatif 


Secara umum, impeachment diajukan oleh Lembaga Legislatif atau Dewan Perwakilan yang duduk di parlemen. 

Lembaga legislatif mendakwah atas tindakan pelanggaran berdasarkan alasan-alasan yang tertuang dalam konstitusi. 

Anggota parlemen melaksanakan sidang pemakzulan dan pemungutan suara. Apabila dalam pemungutan suara, suara mayoritas (umumnya 3/4 suara parlemen) menyetujui pemakzulan, maka parlemen menyatakan bahwa pejabat tersebut dimakzulkan. 

Pengaturan tentang pemakzulan di lembaga legislatif diatur sesuai dengan konstitusi masing-masing negara. 

Peran Lembaga Yudikatif dalam Impeachment


Impeachment melibatkan lembaga Yudikatif, dalam hal ini Mahkamah Agung (Supreme Court) atau Mahkamah Agung (Constitusional Court). 

Apabila sebuah negara hanya memiliki lembaga Mahkamah Agung, maka Mahkamah Agung terlibat dalam proses impeachment, namun apabila sebuah negara yang menerapkan impeachment memiliki dua lembaga ini, maka besar kemungkinan Mahkamah Konstitusi-lah yang terlibat.

Peran lembaga yudikatif ini tergantung pada kewenangan yang diberikan konstitusi di masing-masing negara. 

Dalam proses impeachment, ada negara yang memberikan wewenang kepada lembaga Yudikatif dalam  memberikan keputusan final pemakzulan

Misalnya di Korea Selatan dalam kasus impeachment mantan Presiden Park Geun-hye (2016-2017) dan mantan Perdana Menteri Roh Moo-hyun (2004). 

Dalam kasus impeachment Presiden Park Geun-hye, mayoritas anggota Majelis Nasional menyatakan Park Geun-hye dimakzulkan. Namun keputusan ini tidak membuat Park langsung diberhentikan dari jabatannya. Keputusan Majelis Nasional dibawa ke Mahkamah Konstitusi Korsel untuk disidangkan.

Mahkamah Konstitusi lalu melaksanakan sidang dalam kurun waktu hampir 3 bulan hingga akhirnya mengeluarkan putusan. Pada kasus Park sendiri, 8 hakim MK Korsel secara bulat menyatakan bahwa pemakzulan sah, sehingga pemakzulan Park memiliki landasan politik dan hukum. Dengan demikian, usai keputusan MK, Park secara resmi diberhentikan dari jabatannya sebagai Presiden. 

Putusan akhir pemakzulan di tangan MK juga dapat dilihat dalam kasus pemakzulan terhadap Roh Moo-hyun, Perdana Menteri Korsel periode 2003-2008. Oleh parlemen Korsel, pada tahun 2004, Roh ditetapkan bersalah lantaran melakukan suap dalam pemilu yang dimenangkannya. 

Dia kemudian mengajukan gugatan putusan parlemen ini ke MK, dan MK mendapati bahwa Roh memang melakukan suap namun tuduhan itu tidak cukup kuat untuk membuatnya turun dari jabatannya, sehingga Roh tetap menjabat sebagai Perdana Menteri. 

Namun, ada juga sistem dimana Lembaga Yudikatif berperan menjembatani landasan hukum peristiwa politik pemakzulan ini. 

Misalnya dalam kasus pemakzulan mantan Presiden Lithuania, Rolandas Paskas tahun 2004. Mahkamah Konstitusi Lithuania berperan menjembatani proses pemakzulan dan tidak berwenang memberikan keputusan akhir. Artinya, impeachment menjadi murni proses politik. 

Dengan keputusan mayoritas di Parlemen menyetujui pemakzulan Paskas, maka ini menjadi keputusan akhir sehingga secara sah dia diberhentikan dari jabatannya sebagai Presiden. 

Kasus lainnya seperti terjadi di Amerika Serikat. Amerika tidak memiliki MK dan dalam kasus impeachment kepala negara, Supreme Court of the United States (SCOTUS) atau Mahkamah Agung AS yang mengambil peran.

Konstitusi AS mengatur bahwa Mahkamah Agung AS memimpin sidang pemakzulan Presiden, namun keputusan MA bukan berdasarkan pertimbangan hakim-hakimnya. MA AS hanya memimpiin sidang, mengesahkan pemakzulan dan memberikan landasan hukum sahnya pemakzulan, sedangkan keputusan pemakzulan sepenuhnya ada di tangan mayoritas anggota Senat. 

(Red)
×
Berita Terbaru Update