Notification

×

Iklan

Iklan

Antara Kesehatan dan Lingkungan: Limbah Selama Covid-19

Minggu, 07 Februari 2021 | 12:03 WIB Last Updated 2021-02-07T05:03:48Z
Limbah Selama Covid-19
Ilustrasi antara kesehatan dan lingkungan (Dok. GreenBiz).

Pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung kurang lebih setahun lalu memunculkan berbagai perubahan aktivitas-aktivitas manusia secara nasional dan global.

Indonesia sendiri mengatur aktivitas masyarakat melalui Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan sekarang Penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) untuk membantu menekan penyebaran virus corona.

Mengingat adanya keharusan menggunakan masker dan penggunaan peralatan medis lain, semakin mendorong peningkatan permasalahan lingkungan terutama limbah-limbah penggunaan masker selama Covid-19. Lalu, bagaimana kaitan pengelolaan limbah ini dengan rencana Indonesia menuju perekonomian hijau di masa pandemi Covid-19?

Masa Pandemi Covid-19 dan Peningkatan Limbah


Baik melakukan kegiatan dari rumah atau tidak, kedua tipe kegiatan ini sama-sama meningkatkan risiko penggunaan limbah, di mana semenjak aturan bekerja dari rumah dan pembatasan kegiatan, terdapat peningkatan masyarakat yang beralih berbelanja secara daring sebanyak 62 persen dan layanan pesan antar sebanyak 47 persen untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. 

90 persen dari aktivitas ini kebanyakan menggunakan plastik bubble wrap sebagai upaya menjaga kebersihan dan keutuhan produk, padahal penelitian dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menemukan bahwa sebenarnya virus corona masih bisa bertahan selama tiga hari di permukaan plastik.

Selain itu, kegiatan di luar rumah membuat dalam lingkup Jakarta saja sampah masker yang terkumpul dari April ke Desember 2020 lalu sebanyak 1.231 kilogram, belum lagi jika dikumpul dari lingkup nasional.

Masa pandemi ini juga mendorong peningkatan limbah medis sebanyak 16% di muara sungai Teluk Jakarta yang ternyata bukan hanya limbah masker terutama masker sekali pakai, namun juga limbah infeksius (limbah medis tergolong bahan berbahaya dan beracun) seperti baju hazmat, sarung tangan, dan pelindung wajah yang penggunaannya semakin meningkat di masa pandemi Covid-19 ini.

Mengingat Indonesia saat ini menjadi negara produsen kedua penghasil sampah plastik sebanyak 64 juta ton per tahun dan kebanyakan sampah tersebut terbuang ke laut sebanyak 1,3 juta ton per tahun, sehingga peningkatan limbah infeksius domestik di masa pandemi ini semakin mengancam keseimbangan ekosistem laut nasional

Maka, jika ditambah dengan keadaan saat ini, di mana lebih dari satu juta masyarakat positif kasus Covid-19, penggunaan masker akan terus meningkat, begitu juga limbahnya.

Indonesia Menuju Ekonomi Hijau 2025?


Permasalahan limbah ini berkaitan dengan komitmen Indonesia untuk membangun dan mewujudkan pertumbuhan ekonomi hijau sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah (RPJMN) Tahun 2020-2024 pada masa pandemi Covid-19. 

Hal ini dikarenakan untuk mencapai ekonomi hijau, maka Indonesia salah satunya memerlukan peningkatan industri produksi dan pengolahan industri ramah lingkungan serta daur ulang limbah yang baik. Jika pernah mendengar Indonesia sampai mengimpor sampah dari luar negeri, hal ini benar adanya dengan beberapa catatan bahwa sampah dari berbagai negara seperti Australia, Perancis, Amerika Serikat, dll., digunakan untuk tujuan bahan baku industri terutama pembuatan kertas. 

Namun, tidak sedikit dari sampah impor tersebut juga merupakan sampah plastik yang tidak dapat didaur ulang sehingga semakin menambah produksi sampah domestik Indonesia.

Jika dikaitkan dengan konsep ekonomi hijau yakni perekonomian di mana pendapatan dan pertumbuhan lapangan kerja didorong oleh investasi publik yang mengurangi emisi karbon dan polusi sembari meningkatkan efisiensi energi dan sumber daya serta mencegah hilangnya keanekaragaman hayati dan ekosistem, maka Indonesia sehingga membutuhkan implementasi kebijakan yang efektif dalam pengelolaan limbah. 

Sektor limbah ini memerlukan sinergi produksi dan manufaktur produksi barang dan material yang memiliki kandungan berbahaya rendah, sehingga limbah yang dihasilkan juga bisa diminimalisir, di mana penggunaannya bisa dimaksimalkan dan menggunakan produk-produk yang bisa digunakan kembali serta didaur ulang. 

Mengutip konsep pengelolaan limbah dari European Union Waste Framework Directive, opsi terbaik merupakan prevention atau pencegahan di mana barang belum menjadi limbah namun masih berupa produk.

Mengingat tingginya pembelian di masa pandemi ini yang menggunakan jasa pesan antar dan daring, maka bisa dilakukan pencegahan yakni masyarakat dan pemerintah perlu menentukan dengan bijak keputusan sebelum membeli barang-barang. 

Masa pandemi ini, masyarakat tidak perlu panic buying atau bisa mulai menggunakan opsi produk yang lebih ramah lingkungan. Setelah itu, terdapat upaya menurunkan limbah dengan penggunaan barang yang masih bisa digunakan kembali tanpa perlu terus menerus membeli, di mana dalam konteks ini masyarakat bisa memberikan opsi pada pengalihan penggunaan masker dan Alat Pelindung Diri (APD) menjadi bisa dipakai beberapa kali (reuse) untuk meminimalisir limbah. 

Tahap-tahap selanjutnya yakni daur ulang produk limbah menjadi produk lain, di mana jika dimanfaatkan dengan baik bisa juga menambah perekonomian negara, lalu tahap terakhir yakni Tempat Pembuangan Akhir (TPA) limbah (disposal). 

Permasalahan lainya adalah kebanyakan TPA di berbagai daerah Indonesia belum memenuhi standar, baik dari pemilihan tempat dan penanganannya, sehingga cenderung diprotes oleh warga setempat, mengingat adanya aroma busuk dari tumpukan sampah yang tercampur.

Pada dasarnya, visi untuk perekonomian hijau ini sangat penting untuk membantu pencapaian pembangunan ekonomi hijau yang tidak hanya memperhatikan aspek sosial masyarakat namun juga kelestarian lingkungan secara berkelanjutan. Pemerintah dan masyarakat di satu sisi bisa lebih mengendalikan penggunaan plastik sehari-hari dan melakukan pemilahan sampah sehingga pengelolaan sampah. 

Setelah itu, perlu ada inovasi-inovasi teknologi dalam pengelolaan sampah, di mana sampah dimanfaatkan ke dalam bentuk lain dan digunakan untuk kebutuhan sosial ekonomi masyarakat. Proyek negara seperti Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan juga perlu direalisasikan dengan koordinasi bersama pemerintah daerah

Terkait dengan sampah medis, saat ini LIPI sedang mengembangkan metode kristalisasi yang memungkinkan adanya degradasi rendah yang menghasilkan plastik daur ulang berupa serbuk sehingga plastik kristal dapat digunakan kembali dengan kualitas yang baik. Maka dari itu, agar mencapai komitmen perekonomian hijau tahun 2025, maka antara masyarakat dan pemerintah harus saling bekerja sama dengan perannya masing-masing.

Penulis

Chatrine Debora Pasaribu
Peneliti Junior di Democracy and Integrity for Peace (DIP) Institute, Jakarta. 
×
Berita Terbaru Update