Notification

×

Iklan

Iklan

Ada apa dengan Melonguane? Sebuah Telaah Sosial

Rabu, 22 April 2020 | 18:04 WIB Last Updated 2020-04-23T03:27:37Z
Pelabuhan Melonguane (Foto: istimewa)

Di sebuah pagi, saat matahari belum juga menampakkan sinarnya, orang-orang di sekitar tempat saya tinggal terbangun. Kami terkejut oleh teriakan seorang lelaki paro baya, bertubuh gemuk, pendek yang berjalan terhuyung sambil mengayun-ayun sebilah parang. Kondisinya tidak karuan. Wajahnya pucat, matanya merah, liar berkilat dengan pipi lebam seperti sehabis membentur benda keras. Lalu sekali lagi ia mengulangi teriakannya. ” Kiapa!!, kita memang orang susah, mar ini, e ini itu orang asli Melonguane, so kita ini itu tuan tanah!!!,…” ia berteriak sambil menepuk-nepuk dadanya. Ada nada frustrasi, sedih bercampur geram dalam suaranya. Ia melampiaskan kemarahannya saat kondisi mabuk. Lelaki ini telah menjual beberapa lahan tanahnya untuk membeli bentor (becak bermotor), agar dapat menghidupi istri dan kedua anaknya. Dan kini ia tidak lagi memiliki lahan untuk dipakai berkebun kecuali lahan tempat ia mendirikan rumah.

Di sekitaran akhir tahun 90-an sampai awal 2000-an, Melonguane masih merupakan sebuah desa pesisir, dengan pasir putih, indah terlihat dari laut. Pemandangan ini bisa dinikmati saat lewat menggunakan kapal penumpang dari Beo menuju Lirung. Pasir putih itu membentang mulai dari pantai Arangacca di sebelah barat hingga sepanjang bibir desa Melonguanne. Sementara di bagian timur, deretan hutan bakau menghias ujung desa sekaligus melindunginya dari badai laut timur.

Melonguane berada tepat di depan pulau Salibabu, pulau kedua terbesar setelah pulau Karakelang. Di antara kedua pulau ini, yakni di sebelah timur Melonguane terdapat dua pulau kecil Sarra Besar dan Sarra Kecil yang menjadi andalan pengembangan wisata Kabupaten Talaud di masa depan. Bagian utara Melonguane adalah dataran menengah dengan perbukitan kecil. Di dataran itulah kini berdiri pusat perkantoran Pemerintah Kabupaten Kepulauan Talaud.

Melonguane di sepuluh tahun lalu memiliki penduduk relatif homogen di mana sebagian besar penduduknya hidup sebagai petani dan nelayan. Sebagian lain, dalam jumlah lebih kecil berprofesi sebagai pegawai negeri sipil, TNI, POLRI serta pengusaha.

Di Melonguane terdapat kehidupan rutin sebagaimana desa-desa pesisir di Kepulauan Talaud. Sebelum matahari terbit, para lelaki biasanya telah berkemas menuju kebun, dengan membawa bekal buatan istri. Mereka menanam singkong, umbi-umbian, sayuran serta membudidayakan tanaman pala, cengkih dan kelapa yang merupakan komoditi unggulan masyarakat Talaud. Itulah sebabnya di setiap pinggir desa Melonguane dipenuhi tanaman komoditi ini. Hal itu mereka jalani untuk memenuhi nafkah keluarga, serta membiayai anak-anak mereka yang bersekolah di sekolah-sekolah di Melonguane dan yang melanjutkan ke perguruan tinggi di Manado.

Pada sore hari, setelah sejenak beristirahat, beberapa orang, terutama yang tinggal di pinggir pantai, akan mempersiapkan kail dan joran. Mereka menaiki Londe¸sebuah sampan dengan dua cadik di samping kiri kanan yang biasa digunakan nelayan-nelayan Melonguane untuk mencari ikan. Lalu menjelang subuh mereka pulang ke rumahnya. Hasil tangkapan bisa diterka dari wangi aroma ikan bakar, yang mengepul dari dapur perempuan Melonguane, atau lewat sumringah anak-anak mereka yang mengusap perut setelah menghabiskan beberapa potong ikan goreng buatan ibu mereka.

Itulah keseharian penduduk kota Melonguane di sepuluh tahun lalu. Kini keseharian itu telah berubah. Banyak dari penduduk Melonguane tidak lagi hidup bertani dan bernelayan. Sebagian besar dari mereka berubah profesi menjadi tukang bentor, buruh bagasi pelabuhan, atau bekerja sebagai pelayan di tempat-tempat usaha yang kini memenuhi hampir seluruh jalan besar di kota Melonguane. Yang tidak banyak berubah adalah para pegawai negeri yang memang sudah ada sejak awalnya, beberapa pengusaha lokal serta para petani yang masih memiliki lahan pertanian mereka.

Perubahan wajah kota dan kehidupan masyarakat Melonguane terjadi dalam 10 tahun terakhir. Ini dimulai sejak penetapan Melonguanne menjadi ibukota Kabupaten Kepulauan Talaud. Sejak saat itu penduduk Melonguane kian bertambah, oleh para pegawai negeri sipil yang menetap, serta para penduduk tidak tetap yang datang sekadar berlibur, atau yang melakukan kegiatan bisnis.

Penetapan Melonguane dilakukan setelah terjadi tarik ulur yang cukup lama dalam penentuan letak ibukota Kabupaten, antara kota Lirung di pulau Salibabu dan kota Beo di pusat pulau Karakelang. Keduanya merupakan dua kota kecil utama di Kepulauan Talaud. Lirung memiliki klaim untuk menjadi ibukota Kabupaten karena potensi ekonomi yang di milikinya. Sejak dahulu, Lirung merupakan kota bandar, dengan pelabuhan kecil yang menjadi andalan sejak masa lampau. Dengan potensi perdagangan yang cukup tinggi, didukung adanya komoditas tanaman pala yang menjadi andalan, menjadikan Lirung sebagai kekuatan ekonomi Talaud. Tidak heran di Lirung, dapat ditemui toko-toko berukuran besar yang tidak ditemui di kota-kota kecil lain di kepulauan Talaud. Bahkan penduduk di pulau Karakelang dan Kabaruan beberapa kali dalam seminggu berbelanja kebutuhannya di kota Lirung.

Sedangkan kota Beo memiliki klaim tersendiri. Sejak masa lampau kota Beo telah menjadi pusat kebudayaan Karakelang. Di Beo pernah ada sebuah kerajaan kecil yang banyak mempengaruhi pertumbuhan kebudayaan di desa-desa sekitar. Sejak dahulu Beo menjadi sentrum kebudayaan dan ekonomi bagi masyarakat Karakelang. Selain itu di Beo, di masa setelah kemerdekaan Indonesia, pertama kali didirikan sebuah sekolah menengah yang banyak melahirkan tokoh-tokoh intelektual Talaud masa kini.

Tarik ulur antara Lirung dan Beo berlangsung cukup lama. Hal itu dilakukan terutama oleh para penggagas pembentukan Kabupaten Kepulauan Talaud yang memiliki kedekatan dengan dua sentrum ini. Titik temu tidak tercapai, maka dicarilah sebuah jalan keluar yang tidak memihak pada salah satu kutub. Setelah mempertimbangkan berbagai aspek baik secara sosial, ekonomi dan geografis maka Pemerintah Pusat menetapkan ibukota Kabupaten Kepulauan Talaud di Melonguane yang relatif berada di tengah kedua kota ini. Salah satu faktor yang mempengaruhi penetapan itu adalah Melonguane telah memiliki sebuah bandar udara kecil, yang menyediakan hubungan cepat transportasi lewat udara dari dan menuju Talaud.

Penetapan menjadi ibukota kabupaten menjadi titik krusial bagi perjalanan Melonguane, baik sebagai sebuah kota maupun sebagai sebuah ikatan sosial. Perubahan terjadi dalam berbagai dimensi baik sosial, ekonomi, dan budaya, yang kesemuanya dipengaruhi oleh momentum ini.

Perubahan itu dimulai dari perubahan wajah kota dan wilayah hunian masyarakat. Sebagai pusat pemerintahan, Melonguane perlu memiliki sebuah kompleks perkantoran yang mewadahi seluruh pekerjaan pemerintahan Kabupaten baru. Hal ini memunculkan kebutuhan akan sebuah lahan luas, tempat membangun gedung-gedung perkantoran. Maka, terjadilah negosiasi-negosiasi antara pemerintah dan masyarakat yang berujung pada perpindahan kepemilikan atas areal lahan di dataran menengah di utara desa Melonguane, ke tangan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Talaud, baik dalam bentuk hibah maupun lewat proses jual beli. Dengan adanya kompleks perkantoran itu, maka luas wilayah Melonguane menjadi lebih besar lagi.

Hal kedua yang mempengaruhi perubahan Melonguane adalah pertambahan penduduk. Pada awal berdirinya Kabupaten Kepulauan Talaud, berdatanganlah orang-orang ke Melonguane. Ini dimulai dari mutasi besar-besaran para pegawai dari kabupaten induk Sangihe dan kota Manado untuk mengisi formasi kepegawaian di kabupaten baru. Menyusul kemudian adalah pertambahan pegawai lewat penerimaan pegawai baru dalam beberapa gelombang, yang kemudian sebagian besar diantaranya kini tinggal di Melonguane.

Pertambahan berikut yang cukup mempengaruhi perubahan jumlah penduduk Melonguane yakni kedatangan para pedagang swasta dari daerah-daerah di luar Talaud yang mencari peruntungan ekonomi lewat peluang yang terbuka lebar dengan terbentuknya kabupaten baru.

Pertumbuhan jumlah penduduk di Melonguane yang demikian tinggi memunculkan kebutuhan-kebutuhan baru. Kebutuhan tersebut antara lain tempat tinggal, penginapan, rumah sewa, kos-kosan dan areal perbelanjaan serta berbagai sarana hiburan. Kebutuhan-kebutuhan baru tersebut menjadi peluang besar bagi masyarakat asli Melonguane. Mereka memanfaatkannya dengan menjual aset-aset tanah mereka kepada para penduduk baru untuk dibangun tempat tinggal. Sebagian lain bergerak lebih maju dengan membangun kos-kosan, penginapan atau menyewakan rumah mereka dengan jangka waktu tertentu. Semua itu merupakan sebuah kewajaran, sebagai respon terhadap peluang yang terbuka di depan mata.

Akan tetapi, keadaan kemudian menjadi tidak terkendali. Ini terjadi karena tidak ada pendampingan secara intens oleh Pemerintah Kelurahan dan Kecamatan Melonguane terhadap masyarakat dalam proses jual beli, maupun penyewaan aset mereka. Posisi yang diambil Pemerintah Kelurahan dan Kecamatan lebih bersifat administratif dengan sekadar menjadi fasilitator dalam keseluruhan proses jual beli. Akibatnya, masyarakat melakukan penjualan atas asetnya secara sporadis dan tidak terkontrol. Hal ini telah berlangsung kurang lebih sepuluh tahun sejak tahun 2002.

Bagi masyarakat yang memiliki pengetahuan dan kepiawaian bernegosiasi, hal ini merupakan proses menguntungkan karena harga properti maupun tanah dapat ditetapkan tinggi. Sebagian lain, karena keterbatasan pengetahuan, ditambah desakan kebutuhan ekonomi, menjual tanah dan rumahnya dengan harga murah. Bahkan ada yang rela menukarkan tanahnya dengan kendaraan bermotor. Sebagian lagi melepas asetnya baik tanah maupun rumah dengan harga murah karena penyewa telah menanam jasa dengan pemberian secara kecil-kecilan berupa beras, gula, atau barang kebutuhan sehari-hari selama masa penyewaan.

Kemudahan memperoleh uang dalam sekejap rupanya memicu perilaku baru. Masyarakat Melonguane semakin gandrung menjual asetnya. Di sini timbul masalah karena ada masyarakat yang melakukan penjualan secara sepihak tanpa memberitahu anggota keluarga yang lain. Konflik dan perpecahan dalam keluargapun tidak terhindarkan. Ada pula yang menjual tanah atau rumah ke satu pihak padahal rumah dan tanah tersebut telah dijual ke pihak lain. Tuntut menuntut antar keluargapun terjadi di pengadilan gara-gara penjualan tanah dan rumah yang bermasalah.

Masalah kian kompleks saat berhubungan dengan kepentingan umum. Proses ganti rugi lahan yang tidak transparan oleh Pemerintah Kabupaten Kepulauan Talaud saat pengambilalihan lahan yang berkaitan dengan pembangunan sarana umum, menjadi masalah yang lama baru bisa diselesaikan. Bukti dari masalah ini antara lain penutupan jalan utama di sebelah timur Melonguane, dengan alasan belum adanya ganti rugi oleh Pemerintah. Peristiwa berikut yang cukup menggegerkan adalah boikot atas bandara Melonguane oleh beberapa warga yang meminta ganti rugi atas lahan mereka yang dijadikan kawasan bandara. Demonstrasi baru reda setelah pihak kepolisian mengambil tindakan tegas.

Hal menyedihkan adalah, kebanyakan lahan yang dijual oleh masyarakat Melonguane merupakan lahan pertanian produktif. Padahal lahan-lahan tersebut dapat digunakan masyarakat untuk berproduksi, memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini, satu saat akan berbuah penyesalan. Kondisi itu akan terasakan ketika daya beli menjadi rendah, sementara di dapur tidak ada lagi bahan makanan yang bisa ditanak untuk dimakan. Pada saat itulah, petani Melonguane akan sangat merindukan tanahnya, namun sudah terlambat.

Sementara itu, jalan-jalan utama Melonguane yang bernilai ekonomi tinggi, yang ada di persimpangan utama, kini tidak lagi dimiliki oleh orang Melonguane. Kebanyakan dari mereka kini tinggal di pinggiran kota. Sebagian lagi terkunci di bagian belakang deretan toko dan gedung yang bukan milik orang lokal Melonguane lagi. Mereka, tidak lagi memiliki akses dan keleluasaan atas lingkungannya.

Yang lebih menyedihkan adalah banyak masyarakat Melonguane yang dulu dapat menghidupi keluarganya dengan bertani dan bernelayan kini mencari penghasilan dengan bekerja di tempat-tempat usaha para pendatang. Para pengusaha pendatang awalnya hanya membawa sedikit modal, namun dengan kegigihan dan ketekunan dalam bekerja kini menjadi pemberi upah bagi orang-orang Melonguane.

Selain perilaku-perilaku di atas, terdapat perilaku sosial baru yang bersifat trend. Yang pertama tumbuhnya berbagai tempat hiburan. Pertumbuhan penduduk yang kian pesat dan hunian yang semakin luas dimanfaatkan oleh para pengusaha dengan membuka fasilitas-fasilitas hiburan di pinggiran kota berupa bar yang menyediakan fasilitas karaoke dan minuman keras. Bar-bar ini kemudian disebut dengan sebutan yang lebih sopan yakni “café”.

Menjamurnya Café-café di pinggiran kota Melonguane merupakan sebuah kekerasan kultural. Masyarakat yang sebelumnya hidup dengan nilai-nilai kesederhanaan dibenturkan dengan perilaku masyarakat urban yang hedonistis. Di café bukan saja ditawarkan jasa karaoke dan minuman keras, tapi ada indikasi terjadi juga transaksi seks komersil yang dilakukan secara terselubung. Para pengusaha mendatangkan perempuan-perempuan muda penghibur dari kota Manado dan sekitar untuk menjadi pelayan di kafe-kafe mereka. Untuk lebih keren, para perempuan yang sebenarnya merupakan korban perdagangan perempuan ini disebut sebagai “ladies”.

Jika ditanya, apa motivasi terkuat yang membuat banyak laki-laki di seputaran kota Melonguane begitu ingin datang ke café. Rupanya bukan karaoke ataupun minuman keras, yang harganya telah melambung. Magnet yang menarik mereka adalah para ladies yang ada di café tersebut, yang memang telah dikondisikan untuk melayani, bahkan ke transaksi lebih lanjut.

Dampak sosial turunannya adalah para tukang bentor tidak lagi menyerahkan hasil pencahariannya secara utuh kepada para istri, karena mereka sudah menyimpan sebagiannya untuk bergembira di café-cafe. Demikian juga para oknum aparat pemerintah tidak lagi menyerahkan gaji untuk dikelola istri, sebagiannya telah masuk ke kantong para pengusaha hiburan. Prahara rumah tangga yang berujung perceraian kerap terjadi. Perselingkuhan yang di masa sebelumnya dianggap sebagai kejadian luar biasa, kini menjadi trend sosial, yang dimulai dari aktifitas hiburan malam.

Dampak berikut yang menguatirkan adalah masalah kesehatan. Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Talaud memang secara resmi belum merilis informasi tentang berapa banyak masyarakat Talaud yang terinfeksi HIV AIDS. Namun beberapa kematian pasien di RSUD Mala dicurigai karena penyakit ini. Di Talaud tidak ada penjualan heroin atau sabu-sabu yang memungkinkan terjadi pertukaran jarum suntik antar pengguna yang berpotensi menyebarkan HIV AIDS. Demikian juga belum ditemukan aktifitas usaha tattoo yang juga cukup beresiko. Jadi, modus potensial bagi penyebaran penyakit ini di Talaud adalah melalui hubungan seksual. Adanya transaksi seks komersil secara terselubung berpotensi menjadi penyebab utama penyebaran penyakit ini di Talaud. Mengingat fenomena HIV AIDS adalah fenomena gunung es, maka bisa saja jumlah penderita HIV AIDS menyentuh angka puluhan bahkan ratusan jiwa. Bahkan bisa jadi orang-orang yang saat ini merasa dirinya sehat sebenarnya telah tertular HIV. Jika tidak dihambat sejak dini, dalam beberapa tahun mendatang seiring perkembangan kota Melonguane, akan terjadi ledakan jumlah pasien terindikasi HIV AIDS.

Perilaku anomali lain yang berhubungan erat dengan dunia hiburan malam adalah mabuk-mabukan. Di Melonguane tingkat konsumsi minuman keras sangat tinggi. Ini dimulai para lelaki dewasa, pemuda, dan anak sekolahan. Gejala yang agak menguatirkan adalah ketika hal ini dilakukan juga oleh beberapa perempuan dewasa, yang diikuti anak-anak sekolahan perempuan dengan melakukan hal yang sama. Sebuah pertanyaan besar muncul mengapa sampai perempuan ikut-ikutan mabuk?

Saya kemudian memahami ini sebagai wujud perubahan nilai dan sikap sosial masyarakat. Perubahan nilai dan sikap sosial mengikuti perubahan kultur dan kehidupan masyarakat Talaud secara umum. Di Melonguane, hal ini dimulai sejak perubahan identitas menjadi sebuah kabupaten mandiri yang berujung pada perubahan masyarakat Melonguane dari masyarakat maritim agraris yang hidup dengan bertani dan bernelayan menjadi masyarakat urban. Perubahan ini memerlukan sebuah proses adaptasi perilaku dan nilai. Dengan demikian masyarakat Melonguane hidup dalam sebuah transisi dari masyarakat desa yang bersahaja menjadi masyarakat kota yang urban dan kompleks.

Bagi masyarakat yang siap secara mental, perubahan kultur menjadi proses yang wajar. Namun hal sebaliknya terjadi pada masyarakat yang tidak siap. Mereka bergulat dengan berbagai situasi baru, orang-orang baru dengan tingkat pendidikan dan karakter berbeda. Apalagi ketika dalam kehidupan sehari-hari, justru orang-orang baru, yang memiliki tingkat ekonomi lebih baik, sekaligus lebih banyak berperan dalam masyarakat. Ini menghasilkan sebuah tekanan mental sosial.

Mabuk-mabukan pada akhirnya menjadi kompensasi untuk keluar dari tekanan, baik tekanan ekonomi maupun tekanan sosial, oleh perubahan yang terjadi di sekitar. Itulah sebabnya mengapa di Melonguane bahkan perempuan dewasa dan anak sekolahanpun ikut-ikutan mengkonsumsi minuman keras.

Perilaku mabuk-mabukan di Talaud dan Melonguane secara khusus, didukung oleh peredaran minuman keras yang jumlahnya semakin besar. Walau tidak dengan data statistik, kita dapat melihat peredaran minuman keras di Talaud dalam lima tahun terakhir tumbuh pesat. Hal itu bisa dilihat dari semakin banyaknya orang-orang yang berjalan sempoyongan di jalan-jalan, atau yang sedang berkumpul mengelilingi beberapa botol minuman. Dan yang paling mudah dengan menghitung berapa ratus karung berisi botol kosong, yang siap dikirim di dermaga Melonguane tiap minggu.

Ini sungguh menguatirkan, karena kebiasaan ini akan mempengaruhi perbedaan yang akan terjadi di masa depan, terutama ketika uang yang sebenarnya dapat ditabung dan dipakai untuk menghidupi keluarga hilang begitu saja tanpa menciptakan pertumbuhan apa-apa dalam keluarga. Di Talaud, puluhan milyar rupiah uang masyarakat menguap begitu saja tiap bulannya bersama kosongnya botol minuman keras.

Di Melonguane, perbedaan besar yang akan terjadi bila masyarakat lokalnya masih bergelimang dengan minuman keras adalah perbedaan kaya dan miskin. Ketika para pendatang sibuk dengan bekerja mengakumulasi penghasilan bagi kehidupan di masa depan, sementara sebagian laki-laki dan perempuan Melonguane menghamburkan uang dengan mengkonsumsi minuman keras, lalu lupa bekerja untuk menghidupi keluarganya. Ini akan menciptakan jurang perbedaan kaya dan miskin. Para pendatang sebagai orang-orang kaya sedangkan orang lokal Melonguane miskin.

Saat ini, kenyataan dalam keseharian dalam kota Melonguane adalah harga komoditas barang telah dikuasai pengusaha dan diatur sedemikian rupa tanpa bisa dihalangi oleh masyarakat Melonguane. Dengan harga barang yang mahal, serta kemampuan beli rendah, tentu akan berimplikasi lain di dalam kehidupan masyarakat lokal melonguane yakni: penghasilan keluarga hanya akan habis untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga sedangkan kebutuhan lain seperti biaya sekolah anak bisa saja terabaikan. Bila ini terjadi, satu saat akan terjadi kesenjangan bukan hanya secara ekonomi dan sosial melainkan juga secara intelektual, dimana masyarakat asli Melonguane akan tertinggal dalam percaturan kemasyarakatan dan berakhir hanya dengan menjadi penonton pergerakan kemajuan yang sedang terjadi karena keterbelakangan secara intelektual. Hal yang sama telah dialami oleh masyarakat Betawi yang kehilangan tanah leluhurnya dan menjadi penonton kemajuan Jakarta dari pinggiran kota.

Diakui atau tidak, sebagian masyarakat lokal Melonguane telah terpinggirkan, bukan saja karena telah bertempat tinggal di pinggir kota, tetapi juga karena mereka tidak lagi memiliki kemampuan untuk berkompetisi dalam kehidupan masyarakat. Mereka mengalami kekurangan modal ekonomi dan sosial. Lahan dan rumah telah beralih milik, kebun telah menjadi milik orang lain, sementara hasil penjualan digunakan lebih banyak untuk kebutuhan konsumtif dan tidak dipakai sebagai modal usaha. Sementara itu, mereka melihat tiap hari percaturan ekonomi dikendalikan oleh para pendatang. Demikian juga aktifitas kemasyarakatan lebih banyak dijalankan oleh orang-orang baru. Maka yang akan tumbuh adalah perasaan terpinggirkan. Keterpinggiran itu terjadi bukan karena adanya sistem yang sengaja menjadikannya demikian, tetapi karena ketidakwaspadaan dan tidak adanya ketahanan ekonomi, sosial dan kultural dalam diri masyarakat lokal Melonguane sendiri.

Perasaan terpinggirkan bisa membahayakan jika kian menumpuk. Awalnya mungkin dapat diredam, tapi lama-lama oleh tekanan ekonomi dan kecemburuan sosial, semua itu muncul ke permukaan dalam bentuk-bentuk yang tidak diinginkan. Hal itu dapat mewujud dalam bentuk premanisme, perkelahian, pencurian, pelacuran serta berbagai perilaku antisosial lainnya.

Semua perilaku antisosial merupakan bentuk luapan ekspresi dan pengejawantahan diri. Mereka ingin diperhatikan dan dipandang sebagai orang yang memiliki kuasa atas keadaan mereka. Namun lebih lanjut harus diwaspadai karena ini bukanlah luapan biasa, melainkan luapan rasa frustrasi karena tidak memiliki kuasa apa-apa lagi atas situasi di masyarakatnya. Ini bisa menjadi pemicu labilnya masyarakat. Kita perlu berkaca pada apa yang terjadi di kota Poso, Lampung, atau kehidupan kota-kota Papua yang mengalami eskalasi masalah sosial karena kecemburuan masyarakat lokal terhadap para pendatang. Melonguanepun satu saat akan menjadi sebuah lokus ketidak-seimbangan sosial.

Akan tetapi keadaan buruk itu tentu saja dapat dihindari bila ada upaya mengatasinya sejak dini. Yang pertama Pemerintah kota Melonguane mulai dari camat dan lurah perlu melakukan pendampingan secara kontinyu kepada masyarakat lokal Melonguane dengan melakukan sosialisasi untuk menghentikan penjualan tanahnya. Masyarakat perlu disadarkan bahwa tanah merupakan aset yang sangat berharga dan menentukan kemaslahatan keturunan mereka di masa depan. Diktumnya sederhana “tanpa tanah petani miskin, tanpa tanah anda menjadi pendatang di negeri sendiri.”

Kita perlu belajar dari Bali. Di sana ada ratusan ribu pendatang yang datang menetap, tetapi sangat sulit bagi mereka untuk dapat membeli tanah. Pemerintah dan masyarakat adat hanya memberi hak bagi para pendatang untuk menyewa, baik tanah maupun rumah. Sampai-sampai untuk dapat memperoleh tanah di Bali, para pengusaha mancanegara harus mengawini terlebih dahulu perempuan-perempuan Bali. Hasil dari strategi ini, masyarakat petani Bali masih tetap memiliki tanah sendiri, memperoleh hasil dari lahan pertanian milik mereka sendiri, serta mendapatkan hasil lain dari penyewaan aset .

Di Bali, kedaulatan budaya dan sosial ekonomi tetap dimiliki masyarakat lokalnya. Masyarakat Bali tetap menjadi masyarakat yang solid meski setiap tahunnya didatangi oleh jutaan pendatang dari berbagai penjuru dunia yang hadir membawa bermacam latar belakang budayanya. Di Bali juga, kita bisa melihat masyarakat lokal dapat hidup tentram dan sejahtera, tanpa ada ketakutan dan kecemburuan terhadap para pendatang. Mengapa? Karena mereka masih berdaulat baik secara sosial, budaya dan ekonomi, di tanahnya sendiri.

Bagaimana sebuah masyarakat tetap berdaulat atas ruang sosialnya ditentukan oleh strategi sosial yang mereka terapkan. Sayangnya di kota Melonguane, saya tidak melihat ada strategi sosial yang diterapkan oleh Pemerintah dan masyarakat adat untuk melindungi masyarakatnya sendiri. Kota Melonguane bergerak dengan hanya mengikuti arus kebudayaan umum berdasarkan insting alamiah, yang digerakkan oleh kebutuhan-kebutuhan jangka pendek. Keadaan ini demikian rentan, hingga sangat mudah dikendalikan bahkan dimanipulasi oleh pihak-pihak yang memiliki kekuatan sosial dan ekonomi besar.

Selain itu, apa yang terjadi di Melonguane dewasa ini, mengindikasikan tidak menyatunya pemimpin dan masyarakat, baik secara formal maupun adat. Persatuan hanya terlihat dalam hal-hal yang bersifat formal-ritualistik seumpama peribadatan. Namun di luar itu, para pemimpin Melonguane baik formal maupun non-formal terfragmentasi dalam memenuhi kepentingan keluarga, karir, jabatan politik dan kelompoknya dibanding memikirkan masa depan kota Melonguane.

Terlepas dari semua itu, jika setiap orang yang hidup dan tinggal di Melonguane merasa memiliki Melonguane, maka ia perlu memikirkan keberlangsungan kota ini. Masyarakat lokal perlu mendapat proteksi. Karena itu sebuah langkah penting harus diambil. Saya menyebutnya sebagai sebuah strategi sosial. Strategi sosial pertama berupa penghentian penjualan tanah dan mengalihkannya dengan memberlakukan sistem sewa. Ini dapat dilakukan dengan membuat keputusan baik peraturan pemerintah di tingkat kecamatan dan kelurahan serta lewat peraturan adat untuk menghentikan penjualan tanah di wilayah administratif Melonguane. Hal ini pasti dapat dilakukan.

Yang kedua, warga kota Melonguane perlu memiliki kedaulatan ekonomi atas kotanya sendiri. Hal ini tentu saja dengan membangkitkan jiwa kewirausahaan di kalangan masyarakat. Masyarakat lokal perlu didorong untuk membangun usaha dalam bentuk apapun demi menghidupi keluarga dan menjamin masa depan anak-cucunya. Jika warga lokal sejahtera, otomatis stabilitas kota terjamin, dengan demikian para penduduk barupun dapat hidup dengan aman, nyaman dan berbaur dalam kesetaraan.

Yang ketiga, kota Melonguane perlu membangun jati diri yang khas. Saya melihat adat masih memiliki pengaruh yang kuat di Melonguane. Hal itu terlihat bagaimana masyarakat masih bisa dihimpun dalam kelompok-kelompok adat berdasarkan hubungan kekerabatan. Kita menyebutnya dengan “Rruangan”. Ini perlu diperkuat dan menjadi basis budaya Melonguane. Dan akan lebih kuat lagi jika “Rruangan”, sama seperti di daerah-daerah adat lain memiliki daya paksa untuk mengatur setiap anggotanya. Pemimpin adat dapat memberlakukan aturan setiap orang yang tinggal di Melonguane harus masuk menjadi anggota salah satu “Rruangan”. Sesudahnya, peraturan adat seperti Ehat/eha dapat diterapkan dan menjadi memberi warna di kota Melonguane. Mengenai stigma bahwa adat anti kemajuan, kita bisa membandingkan kembali dengan Bali. Di Bali, segala sesuatu beraroma adat, bahkan Bali tidak bisa lepas dari adat. Namun tak satupun orang yang memberi cap Bali dengan adatnya, sebagai anti kemajuan.

Yang keempat, tentu perlu dibuka ruang-ruang diskusi mengenai persoalan sosial kultural di antara masyarakat secara terbuka dan setara. Hal itu dapat dimotori oleh Pemerintah di tingkat kecamatan dan kelurahan serta tokoh-tokoh masyarakat Melonguane yang kini duduk sebagai pejabat di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Talaud, para anggota DPRD, rohaniwan, para pengusaha maupun tokoh adat. Tokoh-tokoh masyarakat tidak boleh berpangku tangan dan membiarkan keadaan bergerak secara sporadis seperti sekarang ini. Bila sebagian warga terpandang Melonguane, telah memiliki kedudukan sosial dan kemampuan ekonomi memadai, maka selayaknya mereka bertanggung-jawab dengan menjadi sumber inspirasi dan motivator bagi masyarakat di sekelilingnya untuk bergerak lebih maju lagi. Setiap tokoh dapat menjadi katalisator bagi perkembangan Melonguane menjadi kota dengan masyarakat yang lebih sejahtera dan beradab.

Akhirnya, Jangan biarkan keadaan bergerak seperti sekarang, tanpa ada yang peduli, lalu membiarkan Melonguane di satu titik menjadi tempat menampung air mata sesal yang tak berguna.

Dan, jangan biarkan nasi menjadi bubur, lalu kitapun berkata, “ mau bagaimana lagi, sudah terlambat!”.

Pertama kali publish pada 25 Maret 2013.

Penulis:
Alfred Pontolondo
(Pekerja Seni/Pemerhati Sosial)
×
Berita Terbaru Update