Notification

×

Iklan

Iklan

Betah Mengabdi di Pulau Perbatasan Indonesia-Filipina, Gadis Itu Bernama Savelia

Sabtu, 02 Mei 2020 | 20:07 WIB Last Updated 2020-05-02T13:08:22Z
Savelia

Mengagumkan, indah dan menawan. Itulah kesan pertama ketika kita menginjakkan kaki di salah satu pulau terluar Kabupaten Kepulauan Sangihe yang berbatasan langsung dengan negara tetangga Philipina.

Pulau Matutuang Kecamatan Kepulauan Marore, pulau dengan panorama cantik ini, awalnya hanya tempat persinggahan atau tempat tinggal sementara (medaseng dalam bahasa Sangihe) para nelayan pendatang dari Philipina. Mereka adalah warga negara Indonesia yang lahir dan lama menetap di Philipina dan sebagian dari daratan Sangihe maupun pulau- pulau kecil disekitarnya, kemudian menjadi penduduk tetap pulau eksotis dengan luas 34 hektare ini.

Secara geografis, Pulau Matutuang sebelah utara berbatasan langsung dengan negara tetangga Philipina, timur dengan Kabupaten Kepulauan Talaud dan sebelah barat dengan laut Sulawesi. Sebelumnya Pulau Matutuang merupakan anak desa Pulau Marore, namun pada tahun 2008 dimekarkan dan resmi secara administratif menjadi desa dengan mayoritas penduduknya sebagai nelayan dan untuk transportasi baik dari ibu kota kabupaten maupun pulau di sekitarnya menggunakan kapal milik Pelni dengan rute dua minggu sekali.

Saat ini, sebagai desa definitif Pulau Matutuang dihuni oleh 127 Kepala Keluarga (KK), 416 jiwa. Tentu dengan adanya pertumbuhan penduduk maka ada kebutuhan dasar warga yang harus dipenuhi oleh pemerintah dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe,

Salah satunya adalah pendidikan. Pulau Matutuang saat ini telah memiliki Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama ( SMP). Akan tetapi salah satu kendala daerah perbatasan yaitu tidak banyak guru yang bukan dari daerah setempat mau mengabdi atau menetap dengan jangka waktu yang lama.

Namun demikian, stigma daerah perbatasan dengan segala keterbatasannya, tidak menjadi alasan dan kendala bagi seorang anak muda untuk mengabdikan diri dengan penuh totalitas demi mencerdaskan anak bangsa yang ada di etalase Indonesia.

Anak muda berusia (25), bernama Savelia Viane Warouw, S.Pd merupakan guru mata pelajaran IPA di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri Satu Atap (Satap) Tabukan Utara yang ada di Pulau Matutuang.

Dari marganya saja kita bisa menebak bahwa dia tidak berasal dari Matutuang. Walaupun tidak berasal dari Matutuang dan baru satu tahun terakhir ditempatkan sebagai guru namun dengan komitmen yang kuat dan hati tulus menjalankan amanah, wanita kelahiran Kecamatan Kakas Minahasa ini, mampu menembus kerasnya keterbatasan dan kondisi perbatasan disertai penyangkalan diri yang luar biasa dengan tetap menjalankan tugasnya sebagai pendidik yang penuh tanggungjawab.

"Memang awalnya tidak mudah bagi saya, waktu pertama kali datang dan ditempatkan disini (Pulau Matuatuang) untuk menyesuaikan diri dengan keadaan dan situasi baru dan asing bagi saya.

Tantangan pertama adalah air, karena disini susah air, itu tantangan awal yang harus saya taklukan dan puji Tuhan sampai saat ini saya mampu menyesuaikan keadaan dan semakin betah disini," tutur cewek berkulit putih ini.

Selain tantangan situasi dan kondisi lingkungan, tantangan tak kalah menarik menurut darah cantik, ramah dan murah senyum ini adalah masalah bahasa disaat dirinya berada di depan kelas karena keadaan siswa dari perpaduan orang tua Philipina- Sangihe (PISANG).

Ketika dirinya mengajar dengan menggunakan bahasa Indonesia maka banyak siswa yang tidak mengerti sehingga sebisa mungkin dirinya menjelaskan mengunakan bahasa dialek Manado dan bahkan saat ini sementara mendalami bahasa Sangihe, agar mudah dipahami oleh siswa dalam berkomunikasi serta dia pun tertantang untuk membuat para muridnya bisa berbahasa Indonesia dengan baik.

Disaat situasi yang semakin rumit karena dampak pandemi Covid- 19, membuat gadis dengan hobby traveling dan sport ini serta guru lainya semakin kreatif dikarenakan pembelajaran secara daring sebagaimana instruksi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) otomatis tidak dapat dilaksanakan terkendala jaringan internet.

Dimana signal dan jaringan internet untuk Pulau Matutuang hanya bisa dinikmati pada malam hari bersamaan dengan listrik mulai dari pukul 18.00 Wita.

Diakuinya, sejak merebaknya wabah Covid- 19 ini sangat berpengaruh pada kualitas pembelajaran bagi 21 siswa yang ada di SMPN Satap Tabukan Utara karena minimnya fasilitas penunjang.

Sehingga kedepan ia pun berharap ada perhatian lebih dari pemerintah daerah terlebih pusat dalam hal ini Kemendikbud dapat memperhatikan kebutuhan dunia pendidikan yang di perbatasan baik siswa maupun tenaga pengajar seperti dirinya karna mencerminkan wajah Indonesia dimata dunia.

Kini, wanita yang memiliki motto hidup, Perjalanan adalah kekuatan, kekuatan untuk berani memulai dan keluar dari zona nyaman kita. Semakin menikmati peran dan pengabdiannya di daerah terluar, tertinggal dan terpencil dengan tugas yang sangat mulia untuk mencerdaskan anak bangsa di beranda paling depan untuk masa depan Indonesia.

Bahkan, bungsu dari tiga bersaudara ini, tidak memilki target kapan pindah dari Pulau Matutuang dan tetap ingin mengabdi.

"Saya patuh pada ketetapan Tuhan, bila Tuhan tetap mengijinkan saya tetap ada disini saya tidak akan kemana- mana," kata gadis lahir 04 Oktober ini.

Saking betahnya tinggal di daerah perbatasan, dan mungkin hal ini yg dihindari jutaan anak muda yang ada di Indonesia, Keke sapaan akrabnya kini dalam kesehariannya mulai menyatu dengan budaya Sangihe. Bahkan tidak sungkan- sungkan menyebut dirinya sebagai Embo (Sebutan anak bungsu di Sangihe) ini menandakan kecintaanya tidak hanya bagi warga dan Pulau Matutuang tapi juga bagi Kabupaten Kepulauan Sangihe. (Ronny Serang/red02)
×
Berita Terbaru Update